Seri #2: Menjadi Pemimpin Sekolah yang Berhasil

Oleh Dwi Esti Andriani, Ed. D.

Coaching dapat menjadi salah satu kegiatan pendampingan yang efektif. Coaching merupakan proses membuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching menekankan pada proses membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya (Whitmore, 2003). International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai “upaya membentuk kemitraan dengan orang yang dibina untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesionalnya dengan menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif coachee”. Oleh karena itu, seorang coach harus mampu mengembangkan komunikasi atau percakapan efektif yang ditujukan untuk membawa coachee pada ide-ide baru, cara-cara mengatasi tantangan yang dihadapi atau mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, coaching harus didasarkan pada kemitraan, pemberdayaan, dan optimalisasi. 

  • Kemitraan

Hubungan coach dan coachee merupakan hubungan kemitraan yang setara untuk membantu coachee mencapai tujuannya. Seorang coach memberikan dukungan maksimal tanpa menunjukkan wewenang yang lebih tinggi dari coachee.

  • Pemberdayaan

Menekankan pada pertanyaan yang reflektif, mendalam, dan menginspirasi coachee untuk menemukan sendiri jawaban atas permasalahannya.

  • Optimasi

Memastikan jawaban-jawaban yang diperoleh coachee diterapkan dalam tindakan nyata sehingga potensi diri coachee dapat berkembang.

Selain itu, seorang coachee harus hadir sepenuhnya, mendengarkan secara aktif, dan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang kuat selama proses pembinaan.

Whitmore (2009) telah mengembangkan model “GROW” untuk coaching yang efektif. Model GROW terdiri dari empat langkah yaitu Goal = Tujuan, Reality = Realitas, Obstacles/Options = Hambatan/Pilihan, dan Will = Kehendak.

Gambar 2. Model GROW

  1. Goal, berkaitan dengan identifikasi apa yang ingin dicapai yang memberikan fokus, energi, dan pemikiran jernih.
  2. Reality, eksplorasi realita atau ‘dunia’ coachee saat ini untuk dapat memahami dengan baik apa yang sedang terjadi dan bagaimana hal itu memengaruhi diri coachee dan orang lain.
  3. Obstacles, adalah segala hal yang dirasakan coachee menghambat pencapaian tujuan yang diinginkannya. Hambatan-hambatan ini bisa nyata atau tidak karena misalnya disebabkan cara berpikir coachee yang salah. Options merupakan pilihan yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah atau hambatan.
  4. Will, adalah menemukan tindakan apa yang dapat dilakukan oleh coachee untuk mengatasi masalah atau mencapai tujuan.

Dalam setiap langkahnya, coach harus mampu memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berbobot yang dapat membantu coachee menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Contoh: “Apa yang Anda inginkan?”, “Di mana Anda ingin berada pada skala 1–10?” “Bagian manakah yang menjadi fokus sebenarnya?”. Selain itu, keempat langkah tersebut dilaksanakan secara fleksibel.

Gambar 3. Model GROW

Percakapan coaching biasanya dimulai dengan mengeksplorasi Goal dan Reality. Namun demikian, setelahnya coachee dapat berpindah secara fleksible atau tidak berurutan ke keempat langkah GROW.

Model coaching GROW ini telah melandasi pengembangan model coaching Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi, dan Tanggung Jawab (TIRTA) bagi kepala sekolah dan guru-guru di Indonesia yang telah dilatihkan sejak 2022.

Selain melakukan supervisi pengajaran utamanya dengan mentoring dan coaching, kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional perlu mengembangkan komunitas pembelajaran profesional (PLC). PLC telah diyakini sebagai salah satu strategi organisasi yang efektif untuk mengembangkan profesionalisme guru berbasis sekolah. PLC adalah “sekelompok guru yang terus-menerus meninjau praktik mengajar mereka dan sebagai hasilnya, menemukan, menciptakan, dan menegosiasikan pemahaman-pemahaman baru untuk meningkatkannya” (NCTE, 2010) atau merupakan “pembelajaran kolaboratif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran siswa” (Thomson, Greg, Nisca: 2004).

Morrisey (2003) mengusulkan lima dimensi PLC berikut yang perlu dikembangkan oleh kepala sekolah untuk menciptakan atau menguatkan PLC.

  • Kepemimpinan bersama

Kepemimpinan bersama berarti bahwa kepala sekolah memberikan kesempatan kepada guru untuk mengambil berbagai peran kepemimpinan dan mengembangkan kondisi organisasi yang mendukung – struktur dan kultur – bagi staf untuk mengembangkan kapasitas profesional mereka. Dengan menerapkan kepemimpinan ini, kepala sekolah bekerja sama dengan stafnya untuk mencapai tujuan yang disepakati tanpa mendominasi.

  • Visi dan nilai-nilai bersama

Visi bersama merupakan gambaran cita-cita bersama di masa depan yang ingin dicapai bersama oleh warga sekolah. Dalam kegiatan pembelajaran profesional, visi bersama memberikan fokus, tujuan, dan standar kinerja kegiatan komunitas pembelajar profesional. Nilai-nilai bersama merupakan landasan sikap dan perilaku. Dalam komunitas pembelajaran profesional, nilai-nilai yang dimaksud mencakup kolegialitas, kolaborasi, saling mendukung, percaya, dan rasa hormat.

  • Pembelajaran kolaboratif antar profesional

Kepala sekolah, guru, dan staf secara kolektif mencari solusi terhadap permasalahan di kelas atau sekolah atau mencari praktik pendidikan yang lebih baik untuk meningkatkan pembelajaran siswa. Bersama-sama, mereka berkomitmen untuk melakukan perbaikan pada pembelajaran siswa. Mereka bekerja bersama sebagai tim dan berbagi tanggung jawab untuk mengupayakan prestasi belajar siswa yang tinggi.

  • Kondisi yang mendukung

Kondisi yang mendukung sangat penting untuk menciptakan, mengembangkan, serta memelihara kegiatan pembelajaran kolaboratif. Kondisi ini meliputi kondisi struktural dan kolegialitas. Kondisi struktural berkaitan dengan alokasi waktu, prosedur komunikasi, ukuran sekolah, kedekatan guru, dan pengembangan profesional staf. Kolegialitas meliputi sikap positif, kesamaan tujuan atau visi, norma penyelidikan dan perbaikan terus menerus, rasa hormat, kepercayaan, dan hubungan positif serta kepedulian.

  • Praktek personel bersama

Praktek personel bersama berarti bahwa guru mengizinkan rekan-rekannya untuk melakukan observasi kelas di kelasnya dan mengambil pelajaran darinya. Kegiatan ini memerlukan interaksi yang luas seperti pembinaan kolegial, observasi kelas, dan Lesson Study di mana guru secara kolektif mempelajari praktik pengajaran yang dilakukan oleh rekan-rekannya.

Referensi

  • Arikunto, S. 2004, Dasar-Dasar Supervisi, Jakarta, Rineka Cipta.
  • Fehring H. and Rodrigues S. (Eds.). (2017). Teaching, Coaching and Mentoring Adult Learners: Lessons for Professionalism and Partnership. New York, NY: Routledge
  • Grissom, J. A., Egalite, A. J., Lindsay, C A. (2021). How Principals Affect Students and Schools. A systematic Synthesis of Two Decades of Research. “New York: The Wallace Foundation. Available at http://www.wallacefoundation.org/principalsynthesis.
  • Hallinger, P. (2003). Leading Educational Change: Reflections on the Practice of Instructional and Transformational Leadership. Cambridge Journal of Education, 33 (3).
  • Hallinger, P. & Murphy, J. (1985). Assessing the Instructional Management Behavior of Principals. The Elementary School Journal, 86(2).
  • Hallinger, P., & Murphy, J. (1986). The social context of effective schools. American Journal of Education, 94(3), 328–355.
  • Hallinger, P., & Heck, R. H. (2011). Leadership and student learning outcomes. In Leadership and Learning (pp. 56-70). SAGE Publications Inc AGE Publications Inc., https://doi.org/10.4135/9781446288931.n5
  • Hoy W.K., & Forsyth P. B. 1986. Effective Supervision: Theory into Practice. New York: Random House.
  • Kamarudin M., Kamarudin, Y. A., Darmi, R., & Mat Saad, S. N. (2020). A review of coaching and mentoring theories and models. International Journal of Academic Research in Progressive Education and Development, 9(2), 289-298
  • Kilpatric, et al, without year. Defining Learning Communities. University of Tasmania, Australia.
  • Leithwood, K., Harris, A., & Hopkins, D. (2008). Successful school leadership: what it is and how it influences student learning. London: DfES.
  • Leithwood, K. A., & Riehl, C. (2005). What We Know about Successful School Leadership. Philadelphia, PA Laboratory for student success, Temple University.
  • Morrisey, (2000). Professional Learning Communities: An Ongoing Exploration. Texas.
  • NCTE, (2010). Teacher Learning Communities. A Policy Research Brief. The National Council of Teachers of English.
  • Nolan, J., Jr., & Hoover, L. A. (2008). Teacher supervision and evaluation: Theory into practice. Hoboken, NJ: John Wiley.
  • Oliva, P.F., & Pawlas, G.E. 1999. Supervision for today’s schools. New York: Wiley.
  • Pramudianto. (2020). Teacher as a Coach. Jakarta: Elex Media Komputindo.
  • Phillips-Jones, L. (2003). The Mentor’s Guide: How to Be The Kind of Mentor. CA: Coalition of Counseling Centers (CCC)/The Mentoring Group,
  • Raggins, B. R., & Kram, K. E. (2007). The roots and meaning of mentoring. The Handbook of Mentoring at Work: Theory, Research, and Practice, 3-15
  • Robinson, V., Lloyd, C. and Rowe, K. (2008) The impact of leadership on student out comes: an analysis of the differential effects of leadership types, Educational Admin- istration Quarterly, 44(5): 635–74.
  • Sergiovanni, Thomas G. (2006). The Principlaship. A Reflective Practice Perspective. Fifth Edition. Boston: Pearson.
  • Thomson, S. C., Gregg, L., Nisca, J. M. (2004). Professional Learning Communities, Leadership, and Student Learning. Research in Middle Education Level (RMEL), 28, (1), hal 1-15.
  • Wahlstrom, K. L., Louis, K. S., Leithwood, K. Anderson, S. E. (2010). Investigating the Links to Improved Student Learning (p. 338). New York The Wallace Foundation
  • Whitmore, J. (2009). Coaching for performance. 4rd ed. London: Nicholas Brealey
  • Wonnacott J. 2014. Developing and Supporting Effective Staff Supervision: A reader to support the delivery of staff supervision training for those working with vulnerable children, adults, and their families. Brighton, Pavilion Publishing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *